Minggu, 09 Mei 2010

FIQIH WAKAF

FIQIH WAKAF


A. Pengertian Wakaf
Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam ditempat” atau “tetap berdiri. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”.

Dalam peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul ashli ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.

Pengertian menghentikan ini, jika dikaitkan dengan waqaf dalam istilah ilmu tajwid ialah tanda berhenti dalam bacaan Al-Qur’an. Begitu pula bila dihubungkan dalam masalah haji yaitu wuquf, berarti berdiam diri atau bertahan di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Definisi wakaf menurut etimologis atau lughat yang bermakna menahan harta dan memanfaatkan hasilnya di jalan Allah atau ada juga yang bermaksud menghentikan. Maknanya disini, menghentikan manfaat keuntungannya dan diganti untuk amal kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf. Menghentikan segala aktifitas yang pada mulanya diperbolehkan terhadap harta (‘ain benda itu), seperti menjual, mewariskan menghibahkan mentransaksikannya, maka setelah di jadikan harta wakaf, tidak boleh tidak, hanya untuk keperluan agama semata, bukan untuk keperluan si wakif atau individual lainnya.
Menurut Istilah Ahli Fiqih
Para ahli fiqih berbeda dalam mendefinisikan waqaf menurut istilah, sehingga mereka berbeda pula dalam memandang hakikat wakaf itu sendiri. Berbagai pandangan tentang wakaf menurut istilah sebagai berikut:
a. Abu Hanifah
Wakaf adalah menahan sesuatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah ”menyumbangkan manfaat”. Karena itu mazhab Hanafi mendefinisikan wakaf adalah: “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang maupun akan datang.
b. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.
c. Mazhab Syafi’I dan Ahmad bin Hambal
Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakaf tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti: perlakuan pemilik dengan cara pemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukaran atau tidak. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (yang diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut.
d. Mazhab Imamiyah
Mazhab lain sama dengan mazhab ketiga, namun berbeda dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan yaitu menjadi milik mauquf ‘alaih, mekipun mauquf ‘alaih tidak berhak melakukan sesuatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya.

B. Dasar Hukum Wakaf
a. Wakaf dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan secara explisit dan tegas serta jelas mengenai wakaf. Al-Qur’an hanya menyebut dalam artian umum, bukan khusus menggunakan kata-kata wakaf. Para ulama fiqih yang menjadikan ayat-ayat umum itu sebagai dasar wakaf dalam islam. Seperti ayat-ayat yang membicarakan sedeqah, infaq dan amal jariyah. Para ulama menafsirkannya bahwa wakaf sudah tercakup didalam cakupan ayat tersebut.
Membicarakan soal menafkahkan harta dan termasuk didalamnya mewakafkan harta yang dimilikinya, telah disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 215:
“Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui”.

AYAT AL-QUR’AN……ada dibuku fiqih wakaf hal: 11………………….
Artinya:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya dijalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tipa butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang dia kehendaki. Dan Allah Maha Kuasa (Karunianya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS: al-Baqarah: 261).
b. Wakaf dalam Hadits
Hadits Nabi yang dipahami secara tidak langsung terkait masalah wakaf, ada beberapa hadits Nabi yang secara tegas menyinggung dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar:

Hadits nabi………ada di buku fiqih wakaf hal: 12-13……………..
Artinya:
Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra. Memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku? Rasulullah menjawab: bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekah (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak juga dihibahkan dan juga tidak diwariskan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkanya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu.dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta”. (HR. Muslim).
Dilihat dari beberapa ayat al-Qur’an dan hadits Nabi yang menyinggung tentang wakaf tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sehingga ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihadi, bukan ta’abbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.
Meskipun demikian, ayat al-Qur’an dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fiqih islam. Sejak masa Khulafa’ur Rasyidun sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihad) mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad seperti qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain. Penafsiran yang sering digulirkan oleh para ulama, bahwa wakaf ini sangat identik dengan shadaqah jariyah, yaitu suatu amal ibadah yang memiliki pahala yang terus mengalir selama masih bisa dimanfaatkan oleh kehidupan manusia.
c. Perundang-undangan Wakaf
menurut Rahmat Djatnika sumber hukum perwakafan di indonesia, yaitu:
1. Setelah islam masuk ke Indonesia dan di anut penduduknya (1.k. abad 11), sampai tahun 1905, belum ada peraturan perundang-undangan. Wakaf hanya didasarkan kepada fiqig dan hukum adat.
2. Pada zaman kolonial, pemerintah belanda mengeluarkan Sirculer, mengatur tentang rumah peribadatan, masjid dan wakaf.
3. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) 24 Desember 1960.
4. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977.

C. Syarat, Rukun dan Macam-macam Wakaf
A. Syarat dan Rukun Wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf ada empat (4), yaitu:
1) Wakif (orang yang mewakafkan harta)
2) Mauquf bih (Barang atau harta yang diwakafkan)
3) Mauquf ‘alaih (pihak yang diberi waktu/peruntukan wakaf)
4) Sighat (pernyataan atau ikrar wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya).

Rukun artinya sudut, tiang penyangga yang merupakan sendi utama atau unsur pokok dalam pembentukan sesuatu hal. Tanpa rukun sesuatu itu tidak akan tegak berdiri. Begitu pula syarat-syarat yang menentukan sah atau tidaknya suatu wakaf.
Masing-masing rukun tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu pula, yaitu:
1. Wakif
 Wakif harus orang yang merdeka
 Baligh
 Berakal
 Cerdas.

2. Maukuf bih
 Abadi untuk selama-lamanya, maka tidak sah wakaf yang dibatasi oleh waktu tertentu, seperti mewakafkan harta kepada seseorang selama satu tahun. Lalu tidak boleh pula menguntungkan dengan syarat tertentu kepada pihak yang menerima wakaf.
 Benda yang diwakafkan harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jangka lama.
 Jelas wujudnya dan bila tanah harus jelas batas-batasannya. Harus milik si wakif, bukan benda yang dikeragui dan bebas dari segala ikatan dan beban.
 Bisa benda bergerak atau benda tidak bergerak seperti buku-buku, saham dan surat-surat berharga.

3. Maukuf ‘alaih
 Bagi maukuf ‘alaih disyaratkan harus hadir sewaktu penyerahan wakaf, harus ahli untuk memiliki harta yang diwakafkan, tidak orang yang durhaka terhadap Allah dan orang yang menerima wakaf itu harus jelas tidak dikeragui kebenarannya.

4. Sighat
 Tidak digantungkan
 Tidak menunjukkan atas waktu tertentu atau terbatas
 Tidak mengandung pengertian untuk mencabut kembali terhadap wakaf yang stelah diberikan.

Ada empat hal, selain dibicarakan dalam rukun wakaf yang mesti diperhatikan, yakni: 1). kemampuan sipemberi wakaf (wakif), 2). Pengabdian yang sah atau cara penetapan, 3). Harta kekayaan yang dapat diberikan dan 4). Tujuan wakaf yang memadai.

B. Macam-macam Wakaf
Sepanjang perjalanan sejarah Islam, wakaf terbagi kepada dua, yaitu:
1. Wakaf Khayri
Yaitu, wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (umum). Atau wakaf yang bertujuan untuk kemaslahatan umum, sebagaimana pemberian makanan hewan, guru-guru yang mengajar anak-anak miskin, anak yatim atau fakir miskin.
Adapun wakaf khayri ialah wakaf yang diperuntukan untuk amal kebaikan secara umum atau maslahatul ammah, seperti mewakafkan sebidang tanah utuk membangun masjid, sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan sejenisnya. Wakaf seperti inilah yang dilakukan Umar bin Khattab pada tanahnya yang berada diperkebunan Khibar. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar (H.R. Bukhari Muslim).

2. Wakaf Dzurry / wakaf Ahli
Yaitu wakaf yang diperuntukan kepada pihak keturunan atau ahli waris, wakaf itu juga dibenarkan untuk keperluan mereka.
Wakaf dzurry atau disebut juga wakaf ahli ialah wakaf yang dikhususkan oleh yang berwakaf untuk kerabatnya, seperti anak, cucu, saudara atau ibu bapaknya. Wakaf ini bertujuan untuk membela nasib mereka. Dalam konsepsi hukum Islam, seseorang yang punya harta yang hendak mewakafkan sebagian hartanya, sebaiknya lebih dahulu melihat kepada sanak famili. Bila ada di antara mereka yang sedang membutuhkan pertolongannya. Maka wakaf lebih afdhal (lebih baik) diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Seorang sahabat bernama Abu Thalhah hendak mewakafkan sebagian hartanya, lalu Rasulullah menasehatkan agar berwakaf kepada kerabatnya yang sedang membutuhkan. (H.R. Asy-Syaikhan).

2 komentar: